Minggu, 09 Februari 2025

logika

 KONSEP DAN SEJARAH PERKEMBANGAN LOGIKA

Tentunya, Anda sudah mengerti asal-usul kata LOGIKA baik secara etimologis maupun terminologis. Secara konseptual kita berangkat dari definisi terminologis bahwa logika adalah “sistem penalaran tentang penyimpulan yang sah” (Bakry, 2012: 1.3). Yang perlu diperhatikan dari definisi itu, yaitu sistem penalaran dan penyimpulan yang sah.  Sebelum memahami lebih dalam tentang penalaran dan penyimpulan, kita perlu mengenal LOGIKA DEDUKTIF dan LOGIKA INDUKTIF. Deduktif dan Induktif dapat dibedakan dengan melihat sifat kesimpulan yang dihasilkannya. Jika logika deduktif, maka kesimpulannya bersifat PASTI. Sedangkan logika induktif, maka kesimpulannya bersifat MUNGKIN.

Contoh logika deduktif:

Pancasila adalah ideologi bangsa Indonesia

Semua bangsa Indonesia mengakui ketuhanan Yang Maha Esa

Maka, Pancasila mengakui ketuhanan Yang Maha Esa.

Selain itu, deduktif dan induktif dapat dibedakan dengan melihat BENTUK atau ISI pernyataan yang digunakan. Logika deduktif dikenal dengan logika FORMAL, sebab kepastiannya ditentukan oleh bentuk pernyataan atau struktur dari penyataan yang digunakan. Contoh di atas secara formal dapat dijelaskan, sebagai berikut:

Semua A  adalah B

Semua B adalah C

Maka, semua A adalah C.

Sedangkan, logika induktif dikenal dengan logika MATERIAL, karena kemungkinannya ditentukan oleh isi penyataan yang digunakan. Isi penyataannya itu sesuai dengan kenyataan atau tidak, sehingga kesimpulan yang dihasilkannya adalah kemungkinan. Kemungkinan itu benar atau salah.

Contoh logika induktif:

Perempuan adalah manusia, laki-laki adalah manusia, anak-anak adalah manusia, waria adalah manusia

Perempuan, laki-laki, anak-anak, dan waria dipaksa, akan memberontak.

Maka, manusia dipaksa, akan memberontak.

Konsepsi logika tersebut, tidak lepas dari sejarah yang membentuknya. Secara historis ada dua zaman yang membentuk logika, yakni: zaman Yunani dan zaman Modern. Pada zaman Yunani, Aristoteles menjelaskan bahwa “logika adalah ilmu yang mengkaji hukum-hukum berpikir untuk memelihara proses penalaran dari kesalahan” (Bakry: 2012: 1.30). Logika zaman Yunani ini dikenal dengan logika TRADISIONAL atau logika ARISTOTELES yang berpusat pada karyanya Organon. Buku Organon berisi tentang Categoriae, De Interpretatione, Analytica Priora, Analytica Posteriora, Topica dan Sophistici Elenchi. Pada zamannya, konsepsi logika menurut Aristoteles diikuti oleh Theoprastus, kaum Stoik, Megaria Porphyrius, dan berkembang pada empat wilayah, yaitu: Athena, Iskandariah, Antiokia, dan Roma. Logika zaman Yunani berakhir pada masa Boethius di Roma. Akhir logika tradisional dikenal dengan zaman gelap (dark ages).

 

Pada abad XII atau zaman Modern, di wilayah Eropa Peter Abelard menghidupkan kembali logika pada pendidikan tinggi di Kota Paris. Hidup kembali logika dengan ditemukannya naskah-naskah kuno oleh Abelard tentang Topica karya Cicero, tentang Perihermenias komentar Apuleus, tentang De Syllogimo Hypothetico dan De Syllogismo Categorico komentar Boethius dan komentar tentang De Interpretatione. Masa ini disebut dengan Ars Vetus atau Logika Tua. Kemudian, berkembang pada Ars Nova atau Logika Baru, Logika kaum Scholastik, logika golongan Port Royal hingga logika simbolik. Logika SIMBOLIK pada abad IX dipelopori oleh Leibniz dengan idenya tentang ars combinatoria. Logika simbolik ditujukan untuk menjelaskan logika sebagai ilmu pasti. Setiap pengertian, pernyataan, dan hubungan digantikan dengan simbol-simbol. Logika simbolik dikembangkan pertama oleh George Boole dan Augustus de Morgan dalam bukunya The Mathematical Analysis of Logic (1847) tentang logika formal. Kemudian, John Venn menulis tentang Symbolic Logic (1881). Dalam perkembangannya logika terus berkembang pada pembahasan logika simbolik.

Sumber bacaan:

Noor Muhsin Bakri dan Sonjoruri Budiani Trisakti. Logika. Ed. V. Jakarta: Universitas Terbuka, 2012, hal. 1.1-1.11 dan 1.30-1.46.

 

SILOGISME KATEGORIK

Prinsip-prinsip Penyimpulan

Penyimpulan tidak langsung, struktur penalarannya diwujudkan dalam bentuk silogisme, yaitu yang secara umum diartikan dengan susunan pikir. Silogisme merupakan salah satu bentuk penyimpulan deduktif yang sering digunakan, baik dalam kehidupan sehari-hari dalam suatu perbincangan maupun dalam bentuk penelitian-penelitian ilmiah. Khusus silogisme kategorik sebagai salah satu bentuk penyimpulan tidak langsung dirumuskan sebagai “Suatu bentuk penyimpulan berdasarkan perbandingan dua proposisi yang di dalamnya terkandung adanya term pembanding dan yang dapat melahirkan proposisi lain sebagai kesimpulannya.

Dalam penyimpulan bentuk silogisme kategorik ada tujuh prinsip yang harus diikuti, 3 prinsip atas dasar konotasi term, dan 4 prinsip atas dasar denotasi term, yaitu berikut ini.

1.Hukum pertama. Dua hal yang sama, apabila yang satu diketahui sama dengan hal ketiga maka yang lain pun pasti sama.

2.Hukum kedua. Dua hal yang sama, apabila sebagian yang satu termasuk dalam hal ketiga maka sebagian yang lain pun termasuk di dalamnya.

3.Hukum ketiga. Antara 2 hal, apabila yang satu sama dan yang lain berbeda dengan hal ketiga maka dua hal itu berbeda.

4.Hukum keempat: Jika sesuatu diakui sebagai sifat sama dengan keseluruhan maka diakui pula sebagai sifat oleh bagian-bagian dalam keseluruhan itu.

5.Hukum kelima. Jika sesuatu diakui sebagai sifat sama dengan bagian dari suatu keseluruhan maka diakui pula sebagai bagian dari keseluruhan itu.

6.Hukum keenam. Apabila sesuatu hal diakui sebagai sifat yang meliputi keseluruhan maka diakui pula sebagai bagian dari keseluruhan itu.

7.Hukum ketujuh. Apabila sesuatu hal yang tidak diakui oleh keseluruhan maka tidak diakui pula oleh bagian-bagian dalam keseluruhan itu.

Metode lain untuk menentukan sah tidaknya kesimpulan dalam silogisme, selain menggunakan tujuh prinsip tersebut dapat dirumuskan suatu cara untuk menentukan kepastian kesimpulan dari suatu silogisme dalam diagram himpunan hanya satu bentuk”. Satu bentuk yang dimaksudkan di sini adalah satu bentuk logik. Prinsip penyimpulan praktis ini dapat juga dinyatakan bentuk kontrapositifnya sebagai berikut: “Suatu silogisme jika dilukiskan dalam diagram himpunan lebih satu bentuk maka kesimpulannya tidak pasti”.

Silogisme Beraturan

Silogisme kategorik adalah suatu bentuk penyimpulan berdasarkan perbandingan dua proposisi yang di dalamnya terkandung adanya term pembanding dan yang dapat melahirkan proposisi lain sebagai kesimpulannya. Dirumuskan juga: penalaran berbentuk hubungan 2 proposisi kategorik yagn terdiri atas tiga term sehingga melahirkan proposisi ketiga sebagai kesimpulannya. Dalam definisi di atas jelaslah bahwa silogisme kategorik harus terdiri atas 3 term, hal ini merupakan suatu prinsip sehingga silogismenya disebut dengan silogisme beraturan. Jadi silogisme beraturan adalah hanya terdiri atas tiga term.

Dengan memperhatikan kedudukan term pembanding, dalam premis pertama maupun dalam premis kedua maka silogisme kategorik dapat dibedakan antara empat bentuk atau empat pola, yaitu berikut ini.

1.Silogisme Sub-Pre: Suatu bentuk silogisme yang term pembandingnya dalam premis pertama sebagai subjek dan dalam premis kedua sebagai predikat.

2.Silogisme Bis-Pre: Suatu bentuk silogisme yang term pembandingnya menjadi predikat dalam kedua premis.

3.Silogisme Bis-Sub: Suatu bentuk silogisme yang term pembandingnya menjadi subjek dalam kedua premis.

4.Silogisme Pre-Sub: Suatu bentuk silogisme yang term pembandingnya dalam premis pertama sebagai predikat dan dalam premis kedua sebagai subjek.

Dalam membandingkan 2 proposisi kategorik yang sebagai premis silogisme, proposisi pertama dapat bergantian antara 5 macam sebagaimana yang telah dibicarakan di atas, dibandingkan dengan proposisi kedua yang bergantian juga antara lima macam maka tiap satu bentuk silogisme kategorik ada 5 ´ 5 macam, yaitu ada 25 macam silogisme, tetapi secara terperinci sebenarnya ada 7 ´ 7 berarti tiap bentuk ada 49 macam. Berdasarkan hasil pembuktian dengan diagram himpunan, dari 25 macam tiap bentuk silogisme, hanya 13 mempunyai kesimpulan tepat dan pasti, adapun yang lainnya tidak dapat dipastikan kesimpulannya. Semua silogisme yang pasti ini merupakan penerapan 7 hukum dasar penyimpulan ke bentuk-bentuk silogisme dengan mengikuti sistem konversi.

Silogisme Tidak Beraturan

Silogisme tidak beraturan yang merupakan kumpulan berbagai ragam silogisme, yaitu silogisme kategorik yang proposisinya ada yang tidak dinyatakan atau berkait-kaitan atau juga bentuk silogisme yang terdiri atas beberapa silogisme yang berkaitan. Silogisme tidak beraturan semuanya dapat dikembalikan ke bentuk silogisme yang beraturan, adapun yang berkaitan dapat juga diuraikan secara bertahap. Silogisme tidak beraturan ada empat macam, yaitu entimema, epikirema, sorites, dan ada juga yang disebut dengan polisilogisme. Semua ini akan dibicarakan satu per satu secara jelas.

Penalaran bentuk entimema hanya menyebutkan premisnya saja tanpa ada kesimpulan karena dianggap sudah langsung dimengerti kesimpulannya atau sudah disebutkan terlebih dahulu. Dan sering juga menyebutkan premis pertama dengan kesimpulan atau premis kedua dengan kesimpulan. Semua ini menunjukkan bahwa dalam penalarannya itu ada proposisi yang diperkirakan atau tidak dinyatakan. Entimema didefinisikan sebagai berikut. Entimema adalah suatu bentuk silogisme yang hanya menyebutkan premis atau kesimpulan saja atau keduanya, tetapi ada satu premis yang tidak dinyatakan.

Penalaran dalam bentuk entimema proposisi yang tidak dinyatakan ada 4 kemungkinan, yaitu entimema dari silogisme yang premis pertamanya ditiadakan, entimema dari silogisme yang premis keduanya ditiadakan, entimema dari silogisme yang kesimpulannya diperkirakan karena langsung dapat diketahui, entimema dari silogisme yang kedua premisnya diperkirakan karena dianggap sudah diketahui.

Penalaran bentuk epikirema didefinisikan secara jelas sebagai berikut. Epikirema adalah suatu bentuk silogisme yang salah satu atau kedua premisnya disertai dengan alasan. Premis yang disertai dengan alasan itu sebenarnya merupakan kesimpulan dari suatu silogisme tersendiri yang berbentuk entimema. Penalaran bentuk epikirema ini banyak dijumpai dalam buku-buku maupun percakapan sehari-hari. Adapun premis-premisnya yang berbentuk entimema sering dinyatakan kesimpulannya terlebih dahulu daripada premisnya atau mendahulukan akibat dari sebab.

Penalaran bentuk sorites didefinisikan: suatu bentuk silogisme yang premisnya berkait-kaitan lebih dari dua proposisi sehingga kesimpulannya berbentuk hubungan antara salah satu term proposisi pertama dengan salah satu term proposisi terakhir yang keduanya bukan term pembanding. Sorites pada dasarnya ada dua macam, yaitu sorites progresif dan sorites regresif.

Sorites progresif, yaitu suatu perbincangan mengarah maju dari term yang tersempit sampai pada yang terluas, sedang kesimpulannya adalah hubungan antara subjek dari premis pertama dengan predikat dari premis terakhir. Sorites regresif, yaitu suatu perbincangan mengarah balik dari term yang terluas menuju yang tersempit, sedang kesimpulannya merupakan hubungan antar subjek dari premis terakhir dengan predikat dari premis pertama. Penalaran bentuk sorites dapat diambil kesimpulan secara pasti, jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.

1.Jika dalam perkaitan itu lingkungan term berjalan dari term yang luas meliputi term yang sempit maka perkaitan selanjutnya tidak boleh dibalik, walaupun term tersebut sebagai subjek atau predikat.

2.Jika dalam perkaitan itu lingkungan term berjalan dari term yang sempit termasuk dalam lingkungan term yang luas maka perkaitan selanjutnya tidak boleh dibalik, baik term tersebut sebagai subjek maupun predikat.

3.Jika dalam perkaitan itu ada negasi maka yang menegasikan atau yang dinegasikan harus term yang lebih luas, hal ini berdasarkan prinsip ketujuh.

4.Jika dalam perkaitan itu tiap proposisi sebagai premis berbentuk ekuivalen maka sampai proposisi tak terhingga pun kesimpulannya tetap berbentuk ekuivalen, hal ini berdasarkan prinsip pertama kaidah silogisme.

Penalaran bentuk polisilogisme secara singkat didefinisikan sebagai berikut: polisilogisme adalah suatu bentuk penyimpulan berupa perkaitan silogisme sehingga kesimpulan silogisme sebelumnya menjadi premis pada silogisme berikutnya. Bentuk penalaran polisilogisme pada dasarnya merupakan uraian terperinci bentuk sorites, yang tiap tahap diberi kesimpulan tersendiri sehingga merupakan silogisme bertumpuk atau silogisme berkaitan. Perbedaan pokok antara sorites dengan polisilogisme, yaitu dalam penalaran bentuk sorites yang berkaitan adalah premisnya, dan dalam penalaran bentuk polisilogisme yang berkaitan adalah silogisme.


Kunjungi juga artikel terkait:

analisis-sistem-informasi

manajemen-media-massa

pengantar-statistik-sosial

 

#universitasterbuka #ut #utsurabaya #mahasiswa #mahasiswaut #tugaskuliah #ilmukomunikasi #prodiilmukomunikasi #logika #makalah #artikel #kreatifitasmahasiswa #cyberuniversity #cyberuniversityofindonesia                                                         


Tidak ada komentar: