
Desa Sejahtera Mandiri
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
telah memberikan legal standing dan landasan strategis untuk pembanguan
dan pemberdayaan masyarakat desa, menuju desa yang mandiri dan sejahtera. UU
Desa memberikan pengakuan dan penyerahan kekuasaan berskala desa. Dengan
pengakuan dan penyerahan kekuasaan tersebut, desa memiliki kewenangan di bidang
penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan
kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat desa. Dalam rangka menopang
pelaksanaan kewenangan tersebut, UU No 6 Tahun 2014 mengamanatkan kepada
pemerintah pusat untuk mentransfer dana ke desa yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara. Dalam penjelasan UU No 6 Tahun 2014 disebutkan
bahwa besaran alokasi anggaran yang peruntukannya langsung ke Desa ditentukan
10% (sepuluh perseratus) dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top) secara
bertahap.
Sejak tahun 2015 pemerintah telah
mengelokasikan dana desa. Besarnya dana desa dari tahun ke tahun secara
statistik makin meningkat. Penyaluran dana desa kurun waktu 2015 sampai dengan
2020 mengalami peningkatan secara terus menerus. Peningkatan alokasi Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara yang disalurkan ke desa tersebut dimaksudkan
untuk mendukung pembangunan desa yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan
melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa,
pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan
lingkungan secara berkelanjutan. Hal tersebut dalam rangka melaksankan secara
konsisten UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa. Harapannya dengan peningkatan
penyaluran dana desa akan mempercepat penurunan angka kemiskinan di pedesaan
sehingga dengan demikian juga akan mempercepat peningkatan kesejahteraan
masyarakat desa.
Undang-undang desa telah memberi
jaminan yang lebih pasti bahwa setiap desa menerima dana dari pemerintah
melalui anggaran negara dan daerah yang jumlahnya berlipat, jauh diatas jumlah
yang selama ini tersedia dalam anggaran desa. Undang-Undang desa juga
memberikan dasar menuju pemberdayaan komunitas yaitu bahwa desa tidak lagi
menjadi bawahan daerah, tetapi menjadi komunitas yang mandiri. Sehingga setiap
warga dan masyarakat desa berhak berbicara atas kepentingan sendiri dan
mengatur wilayah desanya sendiri. Kebijakan-kebijakan yang dulu sering bersifat
top-down, diharapkan dapat bergeser ke arah pendekatan bottom-up
melalui pelibatan dan partisipasi masyarakat desa dalam perencanan, pengelolaan
dan pengawasan pembangunan.
Namun demikian, alokasi dana desa
yag terus meningkat selama 6 tahun terakhir belum dapat menurunkan kemiskinan
secara signifikan di pedesaan. Menteri Keuangan Sri Mulyani, beberapa
waktu lalu mengungkapkan hal tersebut dalam dialog interaktif Diseminasi Dana
Desa di Kabupaten Magelang (Kemenkeu, 2017). Ungkapan tersebut bukan tanpa
alasan. Jika kita melihat data statistik jumlah penduduk miskin di desa
memang mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Namun tren penurunan kemiskinan
juga terjadi sebelum pemerintah mengalokasikan dana desa di dalam APBN.
Semua pihak perlu risau, dengan kondisi yang telah diungkapkan oleh Menteri
Keuangan di atas. Pertanyaan penting yang harus segera mendapatkan jawaban
adalah, mengapa dana desa yang sudah dikucurkan selama ini masih belum maksimal
memenuhi harapan undang-undang. Kemudian bagaimana strategi pemberdayaan masyarakat diimplementasikan
agar efektif dalam memperbaiki kesejahteraan masyarakat desa. Tulisan ini
bertujuan memberikan analisis kritis seperti apakah kondisi kesejahteraan
masyarakat di pedesaan. Sekaligus juga mencoba mengidentifikasi dari mana memulai
langkah atau strategi, dalam upaya membangun kemandirian menuju kesejahteraan
masyarakat desa seperti yang dicita-citakan.
Trend Penyaluran Dana Desa
Data statistik meunjukkan bahwa
trend penyaluran dana desa selama 6 tahun, dari 2015 sampai dengan 2020,
mengalami peningkatan yang sangat pesat. Tahun 2015, pertama kali dialokasikan
di dalam APBN, dana desa masih sekitar Rp 20,76 triliun. Tahun 2016 dana desa
yang dialokasikan besarnya sekitar Rp. 45,61 triliun. Menjadi lebih dari dua
kali lipat dari tahun sebelumnya. Trend kenaikan terus terjadi di
tahun-tahun berikutnya. Pada 2020 dana desa menjadi hampir tiga setengah kali
lipat sejak pertama kali dialokasikan, di tahun 2015. Besarnya menjadi sekitar
Rp. 69,11 triliun. Trend kenaikan yang sangat signifikan ini merupakan bentuk
komitmen pemerintah pusat dalam mengimplementasikan UU No. 6 Tahun 2014 tentang
Desa.
Tujuan disalurkannya dana desa
adalah sebagai bentuk komitmen negara dalam melindungi dan memberdayakan desa
agar menjadi kuat, maju, mandiri dan demokratis. Dengan adanya dana desa, desa
dapat menciptakan pembangunan dan pemberdayaan desa menuju masyarakat yang
adil, makmur dan sejahtera.
Dana desa diprioritaskan untuk pembiayaan
pelaksanaan program dan kegiatan berskala lokal desa dengan tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup masyarakat serta
penanggulangan kemiskinan. Prioritas dana desa dialokasikan untuk membiayai
bidang pemberdayaan masyarakat didasarkan atas kondisi dan potensi desa,
sejalan dengan pencapaian target RPJMDes dan RKPDes setiap tahunnya, melalui:
1. Pemenuhan
kebutuhan dasar, meliputi:- Pengembangan pos kesehatan Desa dan Polindes;
- Pengelolaan dan pembinaan Posyandu; dan
- Pembinaan dan pengelolaan Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD).
2. Pembangunan
sarana dan prasarana desa, yang diantaranya dapat meliputi:- Pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana jalan
desa;
- Pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana jalan
usaha tani;
- Pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana
embung desa;
- Pembangunan energi baru dan terbarukan;
- Pembangunan dan pemeliharaan sanitasi lingkungan;
- Pembangunan dan pengelolaan air bersih berskala desa;
- Pembangunan dan pemeliharaan irigasi tersier;
3. pengembangan
potensi ekonomi lokal guna meningkatkan kapasitas masyarakat desa dalam
pengembangan wirausaha, peningkatan pendapatan, serta perluasan skala ekonomi
masyarakat desa, melalui pembentukan badan usaha milik desa (BUMDes)
Presiden Joko Widodo pada bulan
Februari 2019 menyampaikan bahwa dalam kurun waktu 4 tahun (2015 sampai dengan
2018) dana desa yag terserap sekitar Rp 187 triliun. Dengan anggaran tersebut
secara kuantitatif telah menghasilkan pembangunan infrastruktur jalan desa
sepanjang 191.000 km, jembatan 1,1 juta meter, irigasi 58.000 unit,
pasar desa 8.900 dan posyandu 24.000 unit (Setkab, 2018). Hal tersebut
merupakan pembangunan infrastuktur desa paling spektakuler sepanjang
sejarah Indonesia. Namun demikian, masifnya pembangunan infrastruktur fisik
tersebut belum diikuti dengan peningkatan kualitas kesejahteraan ekonomi
masyarakat di pedesaan. Angka kemiskinan di pedesaan belum mengalami penurunan
secara drastis.
Kemiskinan Pedesaan
Ada beberapa parameter untuk
mengukur kemiskinan di pedesaan, antara lain jumlah penduduk miskin, koefisien
gini di pedesaan, angka kedalaman dan keparahan kemiskinan, serta nilai
tukar petani (Setjen DPR, 2021). Untuk memahami parameter-parameter kemiskinan
ini, ada baiknya perlu dipahami definisi kemiskinan dan garis kemiskinan
terlebih dahulu.
1. Penduduk Miskin
Untuk mengukur kemiskinan, BPS
menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach).
Konsep ini mengacu pada Handbook on Poverty and Inequality yang
diterbitkan oleh Worldbank. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang
sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan
dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk dikategorikan
sebagai penduduk miskin jika memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per
bulan di bawah garis kemiskinan.
2. Garis Kemiskinan (GK)
Garis Kemiskinan (GK) mencerminkan
nilai rupiah pengeluaran minimum yang diperlukan seseorang untuk memenuhi
kebutuhan pokok hidupnya selama sebulan, baik kebutuhan makanan maupun
non-makanan. GK terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis
Kemiskinan Non-Makanan (GKNM).
Garis Kemiskinan Makanan (GKM)
merupakan nilai pengeluaran minimum untuk kebutuhan makanan yang disetarakan
dengan 2100 kilokalori per kapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar
makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan,
daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan
lemak, dan lain-lain).
Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM)
merupakan nilai pengeluaran minimum untuk kebutuhan non-makanan berupa
perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar
non-makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi
di pedesaan.
Rumus Penghitungan :
GK = GKM + GKNM
GK =
Garis Kemiskinan
GKM = Garis Kemiskinan
Makanan
GKNM = Garis Kemiskinan Non Makan
Sumber : https://bppk.kemenkeu.go.id

Desa Sejahtera Mandiri
- Pengembangan pos kesehatan Desa dan Polindes;
- Pengelolaan dan pembinaan Posyandu; dan
- Pembinaan dan pengelolaan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
2. Pembangunan sarana dan prasarana desa, yang diantaranya dapat meliputi:
- Pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana jalan desa;
- Pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana jalan usaha tani;
- Pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana embung desa;
- Pembangunan energi baru dan terbarukan;
- Pembangunan dan pemeliharaan sanitasi lingkungan;
- Pembangunan dan pengelolaan air bersih berskala desa;
- Pembangunan dan pemeliharaan irigasi tersier;